Penanda waktu di handphone saya menunjukkan pukul 03.00 WIB, udara dingin menusuk tulang meskipun saya sudah mengenakan jaket rangkap tiga. Pagi buta begini saya dan Iwan sudah bersiap menjemput kebahagiaan yang disediakan Tuhan melalui perantara Alam di Bromo. Ya, kami hendak menjemput matahari yang berangkat dari atas kawasan Bromo.
Sebelum menikmati sunrise di Sunrise View Bukit Pananjakan kami mampir dulu di kedai kopi, sambil melepas lelah setelah menempuh perjalanan dari Surabaya yang kami mulai pukul 23.00 WIB. Saya merasa takjub dengan banyaknya traveler yang ada di kedai kopi ini, mereka tampak tertawa lepas ditengah dinginnya udara Bromo, mereka tampak akrab tanpa rasa canggung berkenalan satu sama lain. Setelah menyeruput kopi untuk terakhir kalinya, Iwan mengajak saya ke menuju ke spot untuk melihat matahari terbit di Pananjakan.
Kali ini saya sudah duduk manis di deretan bangku panjang di Gunung Pananjakan untuk melihat Sunrise berlatar Gunung Bromo dan Gunung Bathok. Agak mendung, keinginan saya melihat sunrise pun hampir kandas karena angin yang lumayan kencang, membawa awan menutupi arah matahari terbit. Beberapa pengunjung pun sempat bersorak kecewa saat awan tebal datang, dan kembali bersorak gembira saat angin kencang datang mengusir awan.
Awalnya saya duduk di deretan bangku paling belakang dan sempat menggigil kedinginan, tapi saat rona kemerahan mulai terpancar dari tempat matahari mengintip, Iwan menarik tangan saya merangsek kedepan menembus kerumunan manusia demi melihat sunrise lebih dekat. Dan kami berhasil merangsek maju, saya berniat mengambil gambar Sunrise, tapi apa daya saya kalah tinggi dengan wisatawan asing di depan saya, jadi Iwan yang berperawakan tinggi yang mengambilkan gambar Sunrise untuk saya. Dan kami berhasil menjemput matahari yang hendak berangkat menyusun pagi. Anggun sekali, rona kemerahan dari arah timur menyapa kami malu-malu.
Kami menghabiskan wktu hingga sekitar pukul 07.30 WIB di Gunung Pananjakan, setelah itu kami berpindah ke kaldera untuk lebih dekat dengan Kawah Gunung Bromo dan Gunung Bathok. Sebelumnya kami sarapan dengan Bakso Malang terlebih dahulu di pinggir Sabana. Setelah sarapan, saya berfoto beberapa kali di sabana.
Awalnya saya tidak berniat naik ke bibir kawah karena sempat dilarang oleh ibu saya karena aktivitas Bromo yang sedang meningkat.Tapi sekali lagi Iwan berhasil meyakinkan saya untuk naik ke bibir kawah. Benar saja saat saya sampai dibibir kawah, aroma belerang sangat menyengat, saya dan beberapa pengunjung lain batuk-batuk saking menyengatnya. Satu hal yang membuat saya kesal selama berada di Bromo adalah saat melihat tangga dan pagar pembatas di pinggir kawah di kotori oleh coretan-coretan dari tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Saat turun dari bibir kawah saya meminta Iwan untuk menemani saya turun melalui jalur berpasir, ternyata Iwan mengajak saya melintasi bibir kawah yang tidak berpagar. Saya ketakutan, sampai Iwan harus menggandeng saya.
Selanjutnya, kami mengendarai motor mengelilingi kawasan pasir berbisik. Setengah jam berputar-putar disekitar pasir berbisik kami memutuskan untuk pulang ke Surabaya, sudah hampir pukul 11.00 WIB, kami kurang tidur.
Kami sempat berhenti di Pom bensin untuk membersihkan badan dan beristirahat sebentar di Musholla. Awalnya saya menunggui Iwan yang tertidur di Musholla, saya mendengarkan musik sambil memeluk tas, tapi entah sejak kapan saya tertidur. Pukul 14.00 WIB kami sampai di Surabaya, terimakasih Bromo untuk menukar rupiah kami menjadi setumpuk harta karun bernama pengalaman dan kenangan.
Thursday, January 22, 2015
Menjemput Matahari Keemasan di Bromo
Labels:
Travel
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
House of Sampoerna: Diorama Kegigihan Pendiri Sampoerna
Bulan Mei lalu saya mengunjungi House of Sampoerna dalam rangkaian liburan saya Surabaya-Gunung Bromo. Sejak menginjakkan kaki ke kota Surabaya, saya sudah cerewet minta dibawa ke House of Sampoerna oleh teman saya. Awalnya saya tertarik untuk mengunjungi museum ini karena arsitekturnya yang bergaya eropa. Namun ternyata ada pelajaran berharga yang saya dapatkan dari museum megah yang dibuka gratis ini.
Saya sungguh jatuh cinta dengan bangunan bergaya Belanda yang dibangun pada tahun 1858 ini. Auditorium sentral digunakan sebagai museum dan di bagian timur di fungsikan sebagai, kios merchandise dan galeri seni. Rumah tinggal keluarga pendiri Sampoerna juga terletak di kompleks museum ini, tepatnya dibagian barat.
Bangunan megah yang semula digunakan sebagai panti asuhan kelolaan Belanda ini akan mulai bercerita dari ruangan paling depan. Di ruangan pertama terpanjang replika warung bambu sederhana dan juga sepeda onthel tua yang digunakan pemilik Sampoerna untuk berjualan berbagai macam bahan makanan seperti kacang, beras dan buah-buahan. Ruangan ini seakan-akan bercerita saat Liem Seeng Tee masih berusaha membangun usahanya dari nol.
Museum yang awalnya digunakan sebagai pabrik rokok Sampoerna ini akan terus bercerita saat memasukki ruangan kedua, di dalamnya terdapat sebuah motor tua dan warung gerobak rokok yang digunakan Liem Seeng Tee untuk berjualan rokok, kopi dan snack. Di sisi lain terdapat semacam meja untuk meracik rokok, yang dilengkapi dengan timbangan, pipet dan beberapa tabung reaksi.
Peralatan marching band di sisi lain ruangan, menceritakan saat Liem Seeng Tee telah berhasil membangun Sampoerna. Seragam dan peralatan Marching Band tersebut merupakan bentuk CSR Sampoerna. Sebuah lemari yang menyimpan berbagai macam kemasan rokok produk Sampoerna di berbagai Negara, dipajang ditengah-tengah ruangan.
Sepanjang tangga menuju lantai dua terpasang poster-poster grup music dan penyanyi terkenal yang pernah dihadirkan oleh Sampoerna. Lantai kedua museum ini digunakan sebagai toko souvenir, dari lantai dua inilah pengunjung dapat melihat secara langsung proses pelintingan rokok dengan cara manual. Namun sayang di lantai dua ini pengunjung dilarang mengambil gambar.
Selain menikmati cerita kegigihan Liem Seeng Tee, di House of Sampoerna pengunjung juga bisa menikmati city tour gratis di “Surabaya Lama” dengan bus merah “Surabaya Heritage Track”. Namun sayang saya kehabisan tiket karena berkunjung saat weekend dan tidak melakukan reservasi terlebih dahulu. Jika lapar pengunjung juga dapat mengisi perut di kafe yang terletak di sisi timur kompleks House of Sampoerna ini. Pastikan berkunjung ke Museum ini, jika anda sedang berada di Surabaya.
House of Sampoerna tampak depan
Yap, siapa yang tidak kenal dengan merk rokok kenamaan asal Indonesia ini. House of Sampoerna merupakan sebuah museum yang akan bercerita kepada pengunjungnya mengenai kegigihan Liem Seeng Tee dalam membangun pabrik rokok Sampoerna. Memasuki museum yang sangat terawat ini saya disambut dengan aroma tembakau yang sangat khas dan wangi. Aroma tembakau tersebut ternyata berasal dari tumpukan tembakau di salah satu pinggir ruangan utama.Saya sungguh jatuh cinta dengan bangunan bergaya Belanda yang dibangun pada tahun 1858 ini. Auditorium sentral digunakan sebagai museum dan di bagian timur di fungsikan sebagai, kios merchandise dan galeri seni. Rumah tinggal keluarga pendiri Sampoerna juga terletak di kompleks museum ini, tepatnya dibagian barat.
Bangunan megah yang semula digunakan sebagai panti asuhan kelolaan Belanda ini akan mulai bercerita dari ruangan paling depan. Di ruangan pertama terpanjang replika warung bambu sederhana dan juga sepeda onthel tua yang digunakan pemilik Sampoerna untuk berjualan berbagai macam bahan makanan seperti kacang, beras dan buah-buahan. Ruangan ini seakan-akan bercerita saat Liem Seeng Tee masih berusaha membangun usahanya dari nol.
Museum yang awalnya digunakan sebagai pabrik rokok Sampoerna ini akan terus bercerita saat memasukki ruangan kedua, di dalamnya terdapat sebuah motor tua dan warung gerobak rokok yang digunakan Liem Seeng Tee untuk berjualan rokok, kopi dan snack. Di sisi lain terdapat semacam meja untuk meracik rokok, yang dilengkapi dengan timbangan, pipet dan beberapa tabung reaksi.
Peralatan marching band di sisi lain ruangan, menceritakan saat Liem Seeng Tee telah berhasil membangun Sampoerna. Seragam dan peralatan Marching Band tersebut merupakan bentuk CSR Sampoerna. Sebuah lemari yang menyimpan berbagai macam kemasan rokok produk Sampoerna di berbagai Negara, dipajang ditengah-tengah ruangan.
Sepanjang tangga menuju lantai dua terpasang poster-poster grup music dan penyanyi terkenal yang pernah dihadirkan oleh Sampoerna. Lantai kedua museum ini digunakan sebagai toko souvenir, dari lantai dua inilah pengunjung dapat melihat secara langsung proses pelintingan rokok dengan cara manual. Namun sayang di lantai dua ini pengunjung dilarang mengambil gambar.
Selain menikmati cerita kegigihan Liem Seeng Tee, di House of Sampoerna pengunjung juga bisa menikmati city tour gratis di “Surabaya Lama” dengan bus merah “Surabaya Heritage Track”. Namun sayang saya kehabisan tiket karena berkunjung saat weekend dan tidak melakukan reservasi terlebih dahulu. Jika lapar pengunjung juga dapat mengisi perut di kafe yang terletak di sisi timur kompleks House of Sampoerna ini. Pastikan berkunjung ke Museum ini, jika anda sedang berada di Surabaya.
Labels:
Museum
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
Lontong Balap:Bukan Lontong yang Dimakan Sambil Balapan
Lontong Balap merupakan kuliner khas Surabaya yang sudah sangat dikenal. Bagi yang belum pernah mencicipi kuliner ini pasti akan dibuat penasaran oleh namanya yang unik. Saya sendiri penasaran mengapa kuliner ini di beri nama Lontong Balap, yang terlintas dalam pikiran saya adalah bahwa kuliner ini sangatlah nikmat, sehingga membuat penikmatnya memakan makanan ini dengan cepat seperti sedang balapan.
Ternyata, tebakan saya sangat jauh dari sejarah kuliner khas Surabaya ini. Menurut cerita dahulu banyak pedagang yang menjual makanan ini dengan menggunakan gerobak. Pedagang-pedang tersebut berasal dari dua Kampung yaitu kampung Kutisari dan kampung Kendangsari. Para pedagang tersebut berusaha mencari pembeli dalam perjalanan menuju Pasar Wonokromo, sehingga pedagang-pedagang tersebut tampak seperti sedang membalap, sehingga Lontong ini disebut sebagai Lontong Balap.
Saya sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Kota Pahlawan, namun baru pada kunjungan ketiga saya berkesempatan mencicipi kuliner yang di dominasi oleh tauge setengah matang ini. Sebenarnya saat itu saya tidak terpikir untuk menikmati Lontong Balap sebagai menu makan malam, malam itu saya sedang berkeliling mencari penjual capcay di sekitaran Jl. Kranggan bersama seorang teman saya. Namun sayang kami tidak menemukan penjual capca ditengah ramainya Jl. Kranggan malam itu, kemudian teman saya menawarkan Lontong Balap, lalu saya mengiyakan.
Lontong Balap yang saya cicipi adalah Lontong Balap Garuda di Jl. Kranggan atau di belakang B&G Junction. Di Jl. Kranggan ini, terdapat deretan pedagang kaki lima yang menjual Lontong Balap, Sate Kerang dan Es Kelapa Muda. Warung-warung Lontong Balap di Jl. Kranggan ini juga disebut Lontong Balap Garuda, karena berlokasi di depan Gedung Bioskop Garuda.
Malam itu rasa penasaran saya terhadap Lontong Balap terobati sudah. Saya memesan satu porsi Lontong Balap dan Es Kelapa Muda, saya tidak memesan sate kerang karena takut terjadi alergi, padahal sate kerang merupakan pasangan pas untuk si Lontong Balap.
Lontong Balap terdiri dari irisan lontong, tahu goreng, dan lentho yang disiram dengan kuah berwarna kecoklatan kemudian di beri tauge setengah matang yang sangat banyak dan diberi pelengkap berupa bawang goreng, kecap dan sambal. Salah satu komponen dalam dalam lontong balap yang mungkin terdengar asing adalah Lentho. Lentho merupakan makanan mirip seperti bakwan dengan bahan utama kacang Tholo. Lentho juga dikenal di beberapa daerah di Jawa Tengah misalnya di Klaten dan Boyolali.
Jujur saya sangat terkejut saat Lontong Balap pesanan saya datang, jumlah tauge yang dibubuhkan sangatlah banyak sampai-sampai saya tidak sanggup menghabiskan satu porsi Lontong Balap ini. Tauge yang tersaji dalam Lontong Balap ini masih sangat kriuk, karena disajikan setengah matang sehingga menambah nikmatnya kuliner kebanggaan Arek-arek Suroboyo ini. Saking nikmatnya saya sampai lupa mengabadikan wujud si Lontong Balap ini.
Jadi, sempatkan untuk mencicipi kuliner unik ini saat berkunjung keKota Surabaya, di jamin puas dengan rasa dan porsinya yang besar. Jangan lupa lengkapi dengan Sate Kerangnya, jangan seperti saya yang menikmati Lontong Balap tanpa si Sate Kerang. Selamat mencoba!
Ternyata, tebakan saya sangat jauh dari sejarah kuliner khas Surabaya ini. Menurut cerita dahulu banyak pedagang yang menjual makanan ini dengan menggunakan gerobak. Pedagang-pedang tersebut berasal dari dua Kampung yaitu kampung Kutisari dan kampung Kendangsari. Para pedagang tersebut berusaha mencari pembeli dalam perjalanan menuju Pasar Wonokromo, sehingga pedagang-pedagang tersebut tampak seperti sedang membalap, sehingga Lontong ini disebut sebagai Lontong Balap.
Saya sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Kota Pahlawan, namun baru pada kunjungan ketiga saya berkesempatan mencicipi kuliner yang di dominasi oleh tauge setengah matang ini. Sebenarnya saat itu saya tidak terpikir untuk menikmati Lontong Balap sebagai menu makan malam, malam itu saya sedang berkeliling mencari penjual capcay di sekitaran Jl. Kranggan bersama seorang teman saya. Namun sayang kami tidak menemukan penjual capca ditengah ramainya Jl. Kranggan malam itu, kemudian teman saya menawarkan Lontong Balap, lalu saya mengiyakan.
sumber foto: www.eastjavatraveler.com
Lontong Balap yang saya cicipi adalah Lontong Balap Garuda di Jl. Kranggan atau di belakang B&G Junction. Di Jl. Kranggan ini, terdapat deretan pedagang kaki lima yang menjual Lontong Balap, Sate Kerang dan Es Kelapa Muda. Warung-warung Lontong Balap di Jl. Kranggan ini juga disebut Lontong Balap Garuda, karena berlokasi di depan Gedung Bioskop Garuda.
Malam itu rasa penasaran saya terhadap Lontong Balap terobati sudah. Saya memesan satu porsi Lontong Balap dan Es Kelapa Muda, saya tidak memesan sate kerang karena takut terjadi alergi, padahal sate kerang merupakan pasangan pas untuk si Lontong Balap.
Lontong Balap terdiri dari irisan lontong, tahu goreng, dan lentho yang disiram dengan kuah berwarna kecoklatan kemudian di beri tauge setengah matang yang sangat banyak dan diberi pelengkap berupa bawang goreng, kecap dan sambal. Salah satu komponen dalam dalam lontong balap yang mungkin terdengar asing adalah Lentho. Lentho merupakan makanan mirip seperti bakwan dengan bahan utama kacang Tholo. Lentho juga dikenal di beberapa daerah di Jawa Tengah misalnya di Klaten dan Boyolali.
Jujur saya sangat terkejut saat Lontong Balap pesanan saya datang, jumlah tauge yang dibubuhkan sangatlah banyak sampai-sampai saya tidak sanggup menghabiskan satu porsi Lontong Balap ini. Tauge yang tersaji dalam Lontong Balap ini masih sangat kriuk, karena disajikan setengah matang sehingga menambah nikmatnya kuliner kebanggaan Arek-arek Suroboyo ini. Saking nikmatnya saya sampai lupa mengabadikan wujud si Lontong Balap ini.
Jadi, sempatkan untuk mencicipi kuliner unik ini saat berkunjung keKota Surabaya, di jamin puas dengan rasa dan porsinya yang besar. Jangan lupa lengkapi dengan Sate Kerangnya, jangan seperti saya yang menikmati Lontong Balap tanpa si Sate Kerang. Selamat mencoba!
Labels:
Kuliner
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
Candi Merak dan Rumah Durian Ibu Sunarni
Berawal dari posting-an teman saya, Ucup di facebook tentang Candi yang berada di Kecamatan Karangnongko, saya menjadi penasaran mengunjungi candi ini. Setelah melakukan perudingan Saya, Icha, Kiki dan Nio berkumpul di depan SMA tercinta kami, SMA N 1 Klaten. Kami berangkat pukul 10.00 WIB dari SMA N 1 Klaten menuju ke Candi Merak sekalian jemput si Ucup, Tour Guide kami pagi ini.
Setelah menenpuh perjalan sejauh kurang lebih 3 Km dari rumah Ucup, kami sampai di Candi Merak yang terletak di Dukuh Candi, Kecamatan Karangnongko, Klaten. Tak disangka sangka, sesampainya kami di kompleks Candi, ternyata gerbang candi masih terkunci. Ucup si Tour Guide berusaha mencari informasi dari warga sekitar.
Singkat cerita kami bertemu Pak Slamet, salah seorang warga yang memegang kunci kompleks Candi Merak. Akhirnya kami bisa masuk, terimakasih Pak Slamet.
Menurut cerita dari poster yang terpampang di depan Kompleks candi Candi Merak merupakan candi Hindu. Terbukti dari adanya temuan stupa-stupa di lokasi ini seperti Yoni, Ganesha, Durga(Tuhan umat Hindu) dan Nandi (Kendaraan milik Siva). Candi Merak memiliki ukuran lebar 8,86 m, panjang 13,5 m dan tinggi 12 m. Restorasi bagian kaki dan badan candi dilaksanakan pada tahun 2007-2010 , sedangkan bagian atap candi dapat diselesaikan pada tahun 2011.
Candi Merak, mirip dengan Candi Gedongsongo
Kalau cerita versi Pak Slamet dan beberapa warga lain, kompleks Candi Merak ini dulunya adalah sebidang tanah yang ditumbuhi pohon besar. Nah setelah pohon besar tersebut ditebang dan dibersihkan hingga akarnya, ditemukanlah sekumpulan batu yang mirip materi bangunan candi. Kenapa dinamakan Candi Merak? Menurut Pak Slamet, pada zaman dahulu terdapat sarang burung merak disekitar candi Hindu ini, selain itu beberapa Relief di candi tersebut bebrtuk seperti cap kaki burung merak. Jujur saja, mendengar cerita Pak Slamet, saya langsung membayangkan, flashback ke beratus-ratus tahun sebelum hari ini, tempat ini kaya apa ya dulu? Hmm entahlah, yang jelas Candi Merak ini mulai dilirik wisatawan Mancanegara lhoh.
Ini, Pak Slamet yang uda baik hati nyariin kita kunci
Puas berwisata budaya, perjalanan kami lanjutkan menuju Rumah Durian Ibu Sunarni yang terletak tak jauh dari Candi Merak, sekitar 5 menit perjalanan. Sepanjang jalan yang saya lalui dari Candi Merak menuju Rumah Durian Ibu Sunarni, betebaran pohon durian dimana-mana. Begitu sampai di halaman rumah Ibu Sunarni, hidung kami serasa ditusuk durian, eh salah, maksud saya bau durian menusuk hidung kami.
icha lagi nyicicipin Duren yang bakal kita pilih
Ternyata Rumah Durian Ibu Sunarni ini cukup terkenal, terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang membeli durian di tempat ini. Setelah melalui pergulatan panjang dengan ibu Sunarni, akhirnya kami memenangkan 3 durian dengan harga 75 ribu.
Hal menarik dari Rumah Durian Ibu Sunarni adalah, kalau durian yang kita pilih ternyata busuk, bisa minta ganti, dan dijamin kualitas di Rumah Durian Ibu Sunarni ini top banget, enaknya kebangetan. Saya yang biasanya Cuma kuat makan dua biji durian sekarang kuat makan berbiji-biji durian. Kita juga bisa memakan durian yang kita pilih, langsung di Rumah Durian tersebut, gratis air minum ko, gratis juga air buat cuci tangan hehe. Oiya buat kamu yang penasaran atau memang hobi minum Jusdur alias Jus Durian, bisa juga pesan disini. Selamat mencoba.
Setelah menenpuh perjalan sejauh kurang lebih 3 Km dari rumah Ucup, kami sampai di Candi Merak yang terletak di Dukuh Candi, Kecamatan Karangnongko, Klaten. Tak disangka sangka, sesampainya kami di kompleks Candi, ternyata gerbang candi masih terkunci. Ucup si Tour Guide berusaha mencari informasi dari warga sekitar.
Singkat cerita kami bertemu Pak Slamet, salah seorang warga yang memegang kunci kompleks Candi Merak. Akhirnya kami bisa masuk, terimakasih Pak Slamet.
Menurut cerita dari poster yang terpampang di depan Kompleks candi Candi Merak merupakan candi Hindu. Terbukti dari adanya temuan stupa-stupa di lokasi ini seperti Yoni, Ganesha, Durga(Tuhan umat Hindu) dan Nandi (Kendaraan milik Siva). Candi Merak memiliki ukuran lebar 8,86 m, panjang 13,5 m dan tinggi 12 m. Restorasi bagian kaki dan badan candi dilaksanakan pada tahun 2007-2010 , sedangkan bagian atap candi dapat diselesaikan pada tahun 2011.
Candi Merak, mirip dengan Candi Gedongsongo
Kalau cerita versi Pak Slamet dan beberapa warga lain, kompleks Candi Merak ini dulunya adalah sebidang tanah yang ditumbuhi pohon besar. Nah setelah pohon besar tersebut ditebang dan dibersihkan hingga akarnya, ditemukanlah sekumpulan batu yang mirip materi bangunan candi. Kenapa dinamakan Candi Merak? Menurut Pak Slamet, pada zaman dahulu terdapat sarang burung merak disekitar candi Hindu ini, selain itu beberapa Relief di candi tersebut bebrtuk seperti cap kaki burung merak. Jujur saja, mendengar cerita Pak Slamet, saya langsung membayangkan, flashback ke beratus-ratus tahun sebelum hari ini, tempat ini kaya apa ya dulu? Hmm entahlah, yang jelas Candi Merak ini mulai dilirik wisatawan Mancanegara lhoh.
Ini, Pak Slamet yang uda baik hati nyariin kita kunci
Puas berwisata budaya, perjalanan kami lanjutkan menuju Rumah Durian Ibu Sunarni yang terletak tak jauh dari Candi Merak, sekitar 5 menit perjalanan. Sepanjang jalan yang saya lalui dari Candi Merak menuju Rumah Durian Ibu Sunarni, betebaran pohon durian dimana-mana. Begitu sampai di halaman rumah Ibu Sunarni, hidung kami serasa ditusuk durian, eh salah, maksud saya bau durian menusuk hidung kami.
icha lagi nyicicipin Duren yang bakal kita pilih
Ternyata Rumah Durian Ibu Sunarni ini cukup terkenal, terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang membeli durian di tempat ini. Setelah melalui pergulatan panjang dengan ibu Sunarni, akhirnya kami memenangkan 3 durian dengan harga 75 ribu.
Hal menarik dari Rumah Durian Ibu Sunarni adalah, kalau durian yang kita pilih ternyata busuk, bisa minta ganti, dan dijamin kualitas di Rumah Durian Ibu Sunarni ini top banget, enaknya kebangetan. Saya yang biasanya Cuma kuat makan dua biji durian sekarang kuat makan berbiji-biji durian. Kita juga bisa memakan durian yang kita pilih, langsung di Rumah Durian tersebut, gratis air minum ko, gratis juga air buat cuci tangan hehe. Oiya buat kamu yang penasaran atau memang hobi minum Jusdur alias Jus Durian, bisa juga pesan disini. Selamat mencoba.
Labels:
Heritage
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
Mencicipi Pantai Bandengan di Bumi Kartini
Saya dan teman-teman (Desti, Farida, dan Iddo) memilih untuk berlibur ala ransel. Bermodal fisik sehat, motor, keinginan yang kuat dan uang secukupnya, kami berangkat menuju kota Jepara –Bumi Kartini yang terletak sekitar 2 jam perjalanan dari Kota Semarang. Kami berangkat pukul 07.00 pagi setelah sarapan di sebuah warung soto di Tembalang. Kali ini Zuni salah satu teman kami yang akan menjadi tuan rumah, karena rumahnya berlokasi didekat antai Bandengan.
Sampai di rumah zuni kami disambut Bapak dan Ibunya Zuni serta deretan mebel di depan rumah Zuni Rencananya setelah beristirahat sejenak kami bakal langsung cus ke pantai, namun tak disangka-sangka, ibu nya Zuni lagi masak buat kita. Okedeh akhirnya kami menunda keberangkatan menuju pantai, ga baik nolak rezeki, apalagi ikan bakar dan sambel kecap ala Ibu nya Zuni memang benar-benar nikmat.
Kami berangkat menuju pantai ditemani oleh Bapaknya Zuni. Ternyata dengan ditemani Bapaknya Zuni, kami dapat masuk ke lokasi patai dengan gratis. Selain akses masuk pantai secara gratis, sebenarnya kami juga mendapatkan fasilitas banana boat gratis, tapi karena untuk naik banana boat kami tidak diijinkan memakai peniti dan teman-temannya, kami memutuskan untuk tidak naik banana boat, soalnya yang cewek semuanya jilbaber dan ga pake jilbab bergo, tapi pake yang segi empat.
Desti dan saya langsung menuju pantai. Si Farida justru tidak mau nyentuh air, Zuni katanya suda bosanama pantai, Iddo mulai asikdengan kamera pocket yang dia pegang. Setelah asik dengan kegiatan sendiri-sendiri, akhirnya kami memutuskan untuk menuju Pulau Panjang, menggunakan perahu. Selamat Datang di Pulau Panjang
Pulau Panjang merupakan pulau kecil berpasir putih yang terletak sekitar sepuluh menit perjalanan dari pantai Bandengan menggunakan perahu motor. Pengujung bisa mengitari tepi pulau Pajang dari satu titik dan pasti akan kembali ketitik. Begitu sampai di dermaga kami langsung berlarian mencari posisi yang pas untuk berfoto hehehe. Setelah itu kami mengelilingi Pulau Panjang yang daun pepohonannya sedang meranggas. Tapi ditengah indahnya pulau panjang masih ada sampah yang dibuang ke laut, padahal sudah banyak papan-papan peringatan yang dipasang. Sayang sekali, kami hanya diberi waktu 30 menit untuk menyusuri pulau kecil ini.
Sebelum kembali ke Semarang Kami menyempatkan diri untuk bermain air di pantai Bandengan dan menyewa ban. Sebenarnya kami masih belum mengeksplor Jepara, Sebelum pulang kami mengisi perut dulu di warung mie ayam. Zuni mengatarkan kami sampai Patung Durian, lalu kami melanjutkan perjalanan ke Semarang. Terimakasih Zuni untuk semuanya…. :D
Sampai di rumah zuni kami disambut Bapak dan Ibunya Zuni serta deretan mebel di depan rumah Zuni Rencananya setelah beristirahat sejenak kami bakal langsung cus ke pantai, namun tak disangka-sangka, ibu nya Zuni lagi masak buat kita. Okedeh akhirnya kami menunda keberangkatan menuju pantai, ga baik nolak rezeki, apalagi ikan bakar dan sambel kecap ala Ibu nya Zuni memang benar-benar nikmat.
Ini nih ikan bakar nya, keliatan enak kan?
Kami berangkat menuju pantai ditemani oleh Bapaknya Zuni. Ternyata dengan ditemani Bapaknya Zuni, kami dapat masuk ke lokasi patai dengan gratis. Selain akses masuk pantai secara gratis, sebenarnya kami juga mendapatkan fasilitas banana boat gratis, tapi karena untuk naik banana boat kami tidak diijinkan memakai peniti dan teman-temannya, kami memutuskan untuk tidak naik banana boat, soalnya yang cewek semuanya jilbaber dan ga pake jilbab bergo, tapi pake yang segi empat.
Desti dan saya langsung menuju pantai. Si Farida justru tidak mau nyentuh air, Zuni katanya suda bosanama pantai, Iddo mulai asikdengan kamera pocket yang dia pegang. Setelah asik dengan kegiatan sendiri-sendiri, akhirnya kami memutuskan untuk menuju Pulau Panjang, menggunakan perahu. Selamat Datang di Pulau Panjang
Pulau Panjang merupakan pulau kecil berpasir putih yang terletak sekitar sepuluh menit perjalanan dari pantai Bandengan menggunakan perahu motor. Pengujung bisa mengitari tepi pulau Pajang dari satu titik dan pasti akan kembali ketitik. Begitu sampai di dermaga kami langsung berlarian mencari posisi yang pas untuk berfoto hehehe. Setelah itu kami mengelilingi Pulau Panjang yang daun pepohonannya sedang meranggas. Tapi ditengah indahnya pulau panjang masih ada sampah yang dibuang ke laut, padahal sudah banyak papan-papan peringatan yang dipasang. Sayang sekali, kami hanya diberi waktu 30 menit untuk menyusuri pulau kecil ini.
Sebelum kembali ke Semarang Kami menyempatkan diri untuk bermain air di pantai Bandengan dan menyewa ban. Sebenarnya kami masih belum mengeksplor Jepara, Sebelum pulang kami mengisi perut dulu di warung mie ayam. Zuni mengatarkan kami sampai Patung Durian, lalu kami melanjutkan perjalanan ke Semarang. Terimakasih Zuni untuk semuanya…. :D
Labels:
Travel
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
Saung Angklung Udjo: Usaha Anak Bangsa Melestarikan Budaya
Saung Udjo. Pertama kali mendengar nama tempat ini, saya pikir semacam rumah makan, haha emang dasarnya saya hobi makan yang ada di pikiran makanan mulu. Saya baru paham setelah mbak Lia sang tour guide menjelaskan kepada peserta bahwa Saung Udjo merupakan sebuah sanggar budaya yang menjadikan budaya Sunda khususnya Angklung sebagai daya tarik utama.
Didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati, dengan maksud untuk melestarikan dan memelihara seni dan kebudayaan tradisional Sunda. Mendengar penjelasan mbak Lia, saya jadi ga sabar untuk segera sampai di Saung Angklung Udjo dan melihat pertunjukkan alat music khas sunda ini. Akhirnya kami sampai di Saung Angklung Udjo, setelah menempuh perjalanan selama 45menit dari hotel tempat kami menginap. Meskipun terletak di sebuah gang sempit yaitu di jalan Padasuka 118, Bandung Timur, Saung Angklung Udjo ini tetap ramai pengunjung.
Begitu sampai di Saung Angklung Udjo, kami disambut dengan lingkungan asri yang disekitarnya ditumbuhi bambu-bambu hias. Suasana di Saung Udjo ini benar-benar membuat saya merasa adem, sejuk sekali rasanya dikelilingi pohon bambu dan beberapa pohon rimbun lainnya. Sambil menanti pertunjukkan yang akan dimulai pukul 10.00 WIB pengunjung dibagikan es lilin aneka rasa, dan lagi- lagi gratis hehe. Pengunjung juga dapat membeli oleh-oleh di Saung Udjo ini, untuk harga memang dibandrol agak tinggi, namun jangan khawatir dengan kualitasnya, pasti oke pokoknya. Nah, asiknya lagi disini kita juga dapat mencoba memainkan angklung yang ada di Galery Saung Udjo sambil menanti pertunjukkan dimulai.
Belum hilang rasa gemas para penonton terhadap anak-anak kecil yang menari diatas panggung. Kini penonton disuguhi sajian lagu-lagu daerah dari seluruh nusantara yang dimainkan oleh seluruh siswa di Saung Udjo, kolaborasi antara siswa Junior dan Senior. Penonton ikut bernyanyi bersama alunan merdu dari Angklung yang dimainkan tanpa teks tersebut.
Gemes deh
Selesai dengan lagu daerah Nusantara, kini penonton dihajar dengan alunan lagu bernada diatonis, beberapa lagu pop dan dangdut di sajikan, sang MC pun ikut menyanyi bersama penonton. Puas bernyanyi, kini saatnya penonton mencoba belajar memainkan Angklung. Putra-putri Sunda mulai membagikan Angklung kepada peserta.
Pelajaran pertama, penonton diajarkan bagaimana cara memegang Angklung dengan benar. Dilanjutkan dengan cara membunyikan Angklung. Tidak kalah menarik lagi ketika penonton diajak untuk memainkan lagu sederhana, setiap Angklung yang dipegang oleh penonton ternyata memiliki nomor, nomor pada angklung menunjukkan nada yang dimiliki oleh Angklung tersebut. Teh Katty yang merupakan MC pada pertunjukkan kali ini, memberikan kode dengan tangan untuk memainkan lagu Ibu kita Kartini. Teh Katty yang sudah belajar Angklung selama 17 tahun ini, terlihat sangat fasih memberikan kode bagi penonton saat memainkan lagu I Have a Dream dan Ada Apa Denganmu.
Pertunjukkan pagi itu ditutup dengan menyanyikan lagu dangdut yang membuat seluruh penonton turun memadati panggung untuk bergoyang dan bernyanyi bersama. Sungguh sebuah pertujukkan yang sangat hebat.
Salah satu hal yang membuat saya salut,pertunjukkan di Angklung Udjo ini sudah di desain sedemikian rupa sehingga tidak terkesan jadul, sisi modern tetap diangkat dengan mendaulat MC yang memiliki public speaking yang keren dan kemampuan berbahasa inggris yang ga perlu diragukan lagi, kesan tradisional diangkat lewat wardrobe yang dikenakan oleh MC dan penampil lainnya. ga heran kalo Saung Udjo ini uda meraih prestasi tingkat Internasional.
Hal lain yang membuat saya menjadi lebih kagum lagi adalah, siswa di sanggar ini terdiri dari berbagai tingkatan usia, dari yang paling muda berumur 2 tahun hingga yang sudah dewasa seperti Teh Katty yang menjadi MC pada pertunjukkan kali. Ini baru saya sebut sebagai pelestarian budaya, apalagi siswa di sanggar ini rela untuk sekolah sore demi belajar budaya khas sunda ini di pagi harinya. Tampaknya Indonesia butuh lebih banyak generasi seperti mereka untuk mengangkat budaya Negeri ini.
Didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati, dengan maksud untuk melestarikan dan memelihara seni dan kebudayaan tradisional Sunda. Mendengar penjelasan mbak Lia, saya jadi ga sabar untuk segera sampai di Saung Angklung Udjo dan melihat pertunjukkan alat music khas sunda ini. Akhirnya kami sampai di Saung Angklung Udjo, setelah menempuh perjalanan selama 45menit dari hotel tempat kami menginap. Meskipun terletak di sebuah gang sempit yaitu di jalan Padasuka 118, Bandung Timur, Saung Angklung Udjo ini tetap ramai pengunjung.
Begitu sampai di Saung Angklung Udjo, kami disambut dengan lingkungan asri yang disekitarnya ditumbuhi bambu-bambu hias. Suasana di Saung Udjo ini benar-benar membuat saya merasa adem, sejuk sekali rasanya dikelilingi pohon bambu dan beberapa pohon rimbun lainnya. Sambil menanti pertunjukkan yang akan dimulai pukul 10.00 WIB pengunjung dibagikan es lilin aneka rasa, dan lagi- lagi gratis hehe. Pengunjung juga dapat membeli oleh-oleh di Saung Udjo ini, untuk harga memang dibandrol agak tinggi, namun jangan khawatir dengan kualitasnya, pasti oke pokoknya. Nah, asiknya lagi disini kita juga dapat mencoba memainkan angklung yang ada di Galery Saung Udjo sambil menanti pertunjukkan dimulai.
Hmm nampak depan aja uda asik gini suasananya
Pukul 10.00 WIB pertunjukkan angklung pun dimulai, dibuka dengan pertunjukkan wayang golek selama 15 menit. Meskipun singkat namun tetap memukau. Ditengah pertujukkan, layar yang menutupi kaki sang dalang dibuka, jadi kami dapat melihat bagaimana sang dalang dengan cekatan memainkan tangan dan kakinya secara bersamaan untuk menggerakan boneka kayu dan memberikan efek music pada setiap adegannya.Ini nih Si Cepot lagi beraksi
Setelah memukau penonton dengan pertunjukkan wayang golek dengan bahasa sunda yang kental, kini penonton dimanjakan dengan alunan beberapa lagu daerah Sunda. Tidak cukup sampai disitu saja keseruan yang disajikan, penonton dibuat terpukau ketika anak-anak kecil berusia 2 hingga 8 tahun muncul dari belakang panggung dan kemudian menari di tengah panggung diikuti beberapa remaja memainkan angklung, beberapa diantaranya tampak menandu anak kecil yang mengenakan pakain khas sunda dan memakai sarung. Pertunjukkan tersebut merupakan gambaran upacara selamatan bagi anak kecil yang baru saja disunat.Belum hilang rasa gemas para penonton terhadap anak-anak kecil yang menari diatas panggung. Kini penonton disuguhi sajian lagu-lagu daerah dari seluruh nusantara yang dimainkan oleh seluruh siswa di Saung Udjo, kolaborasi antara siswa Junior dan Senior. Penonton ikut bernyanyi bersama alunan merdu dari Angklung yang dimainkan tanpa teks tersebut.
Gemes deh
Selesai dengan lagu daerah Nusantara, kini penonton dihajar dengan alunan lagu bernada diatonis, beberapa lagu pop dan dangdut di sajikan, sang MC pun ikut menyanyi bersama penonton. Puas bernyanyi, kini saatnya penonton mencoba belajar memainkan Angklung. Putra-putri Sunda mulai membagikan Angklung kepada peserta.
Pelajaran pertama, penonton diajarkan bagaimana cara memegang Angklung dengan benar. Dilanjutkan dengan cara membunyikan Angklung. Tidak kalah menarik lagi ketika penonton diajak untuk memainkan lagu sederhana, setiap Angklung yang dipegang oleh penonton ternyata memiliki nomor, nomor pada angklung menunjukkan nada yang dimiliki oleh Angklung tersebut. Teh Katty yang merupakan MC pada pertunjukkan kali ini, memberikan kode dengan tangan untuk memainkan lagu Ibu kita Kartini. Teh Katty yang sudah belajar Angklung selama 17 tahun ini, terlihat sangat fasih memberikan kode bagi penonton saat memainkan lagu I Have a Dream dan Ada Apa Denganmu.
Pertunjukkan pagi itu ditutup dengan menyanyikan lagu dangdut yang membuat seluruh penonton turun memadati panggung untuk bergoyang dan bernyanyi bersama. Sungguh sebuah pertujukkan yang sangat hebat.
Salah satu hal yang membuat saya salut,pertunjukkan di Angklung Udjo ini sudah di desain sedemikian rupa sehingga tidak terkesan jadul, sisi modern tetap diangkat dengan mendaulat MC yang memiliki public speaking yang keren dan kemampuan berbahasa inggris yang ga perlu diragukan lagi, kesan tradisional diangkat lewat wardrobe yang dikenakan oleh MC dan penampil lainnya. ga heran kalo Saung Udjo ini uda meraih prestasi tingkat Internasional.
Hal lain yang membuat saya menjadi lebih kagum lagi adalah, siswa di sanggar ini terdiri dari berbagai tingkatan usia, dari yang paling muda berumur 2 tahun hingga yang sudah dewasa seperti Teh Katty yang menjadi MC pada pertunjukkan kali. Ini baru saya sebut sebagai pelestarian budaya, apalagi siswa di sanggar ini rela untuk sekolah sore demi belajar budaya khas sunda ini di pagi harinya. Tampaknya Indonesia butuh lebih banyak generasi seperti mereka untuk mengangkat budaya Negeri ini.
Labels:
Budaya
Traveller pemula | Pecinta segala keindahan alam dan Budaya
Subscribe to:
Posts (Atom)